Senin, 21 Desember 2015

ETNOMATEMATIKA SEBAGAI INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

ETNOMATEMATIKA SEBAGAI INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Etnomatematika, ilmu yang erat kaitannya dengan matematika pada suatu etnis atau masyarakat tertentu, juga dapat berkontribusi untuk mendukung pembelajaran yang inovatif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Prof. Dr. Marsigit, M.A selalu berpesan kepada kami bahwa pembelajaran yang masih berpusat pada guru itu adalah pembelajaran yang sudah sangat tradisional, sehingga sebagai calon guru marilah kita beralih dari guru yang hanya mentransfer ilmu menjadi guru yang menjadi fasilitator siswa, guru yang memberdayakan siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa ini bersesuaian dengan paradigma teori pembelajaran kontruktivis, misalnya CTL (Contextual Teaching Learning), beliau juga berperan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis CTL ini, karena beliau mengembangkan pendekatan ini dengan pengertian ontologis, yaitu yang pertama adalah “terkait”, dan yang kedua adalah “persiapan”. Dalam rangka agar seseorang siap, segala sesuatunya harus terkait dengan hal-hal yang lain. Karena manusia tidak bisa berpikir jika mereka terisolasi dan manusia tidak dapat hidup jika mereka terisolasi pula.

Sebagai wujud pembelajaran yang berpusat pada siswa, Prof. Dr. Marsigit, M.A mengembangkan suatu web blog agar mahasiswa aktif. Beliau menekankan pada mahasiswa agar mengembangkan paradigma belajar yang continually, belajar secara terus-menerus, dimanapun dan kapanpun. Kemandirian subjek didik, baik siswa maupun mahasiswa itu diawali dengan kemerdekaan menyatakan pendapat. Jadi, berpikir berbeda itu sangat boleh dan disarankan. Sebagai seorang guru dan dosen, beliau tidak menyarankan jika pengetahuan siswa harus setara dengan pengetahuan gurunya, justru harus saling melengkapi satu sama lain.

Berkaitan dengan etnomatematika, dari unsur kata, etnomatematika terdiri dari etno dan matematika. Matematika adalah ilmu matematika, etno adalah semacam etnik, konteks budaya lokal, atau konteks budaya sesuai dengan masyarakatnya. Etnomatematika jika dilihat dari struktur bahasa belum menunjukkan atau belum terarah kepada pendidikan, etnomatematika masih bersifat umum/netral dan dapat dikaji oleh matematikawan murni. tetapi etnomatematika juga dapat dikembangkan oleh orang-orang pendidikan. Ini berarti matematika dalam sejarahnya tumbuh dari peradaban manusia, dan peradaban manusia itu tidak akan ada hentinya. Selama manusia itu hidup, maka selama itu pula peradaban akan tumbuh dan berkembang.

Etnomatematika dalam konteks sejarah mengandung tiga unsur, yang pertama adalah masyarakat, kedua adalah sejarah, dan ketiga adalah matematika itu sendiri. Masyarakat melalui pemikiran, gagasan, idenya bisa menjadi dasar atau fundamen dari pengembangan pembelajaran matematika. Melalui sejarahnya dari jaman Mesopotamia, Babylonia, Mesir kuno, Yunani kuno, jaman pertengahan, penemuan kalkulus, geometri modern hingga sekarang, etnomatematika juga ikut andil dalam perkembangan matematika. Dengan demikian jika melalui matematikawan murni yang dalam konteks bukan kepentingan pendidikan, bisa menggunakan etnomatematika untuk memperoleh inspirasi dalam pengembangan matematika. Dari referensi-referensi yang ada, kita dapat melihat kriteria-kriteria yang tergolong dalam etnomatematika yaitu lambang, tertulis, artefak, dan value. Dari sini timbul pertanyaan, apakah etnomatematika merupakan suatu ilmu? Kriteria ilmu menurut Emanuel Kant adalah ilmu harus bersifat Sintetik Apriori. Matematika murni menurut Emanuel Kant bukan merupakan ilmu, karena matematika murni tidak bersifat Sintetik Apriori, melainkan Analitik Apriori yang hanya dalam dunia pikiran. Matematika murni kebenarannya hanya mengandalkan konsistensi dari ide satu ke ide yang lain. Sedangkan Sintetik ini harus didukung dengan pengalaman, dan apriori harus didukung dengan logika. Etnomatematika akan menjadi merupakan ilmu jika memenuhi syarat yaitu dipikirkan menggunakan metodologi dan berdasarkan pengalaman.

Di dalam ilmu pengetahuan, pada ujungnya harus ada “kategori”. Manusia bisa membedakan jauh-dakat, besar-kecil, tinggi-rendah, sedikit-banyak, dll karena manusia mempunyai kategori didalam pikirannya yang diperoleh dari intuisi, dan intuisi ini diperoleh dari pengalaman. Contohnya seorang bayi yang baru lahir akan mempunyai banyak pengalaman dan intuisinya akan tumbuh dan berkembang. Semua bentuk karya ilmiah, paper, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi, sumber-sumber ilmunya harus memiliki kategori/kriteria. Jika pada sumber tidak ditemukan kriteria secara eksplisit, berarti kriteria tersebur tersirat secara implisit. Kriteria dapat ditemukan dengan cara mengadakan research (penelitian). Peneliti atau researcher yang bertaraf internasional haruslah orang yang telah memiliki gelar Doktor ataupun Profesor, jika ukuran penelitian hingga bataraf jurnal, maka penelitian harus berkolabirasi dengan Doktor maupun Profesor agar penelitian tersebut akuntabel. Jika kita ingin berkontribusi menjadikan etnmatematika menjadi ilmu, maka kita harus mengajukan penelitian tersebut.

Etnomatematika yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, secara ontologi atau secara hakiki yaitu hakekat ilmu harus memiliki objek. Objek etnomatematika adalah semua gagasan atau ide yang berada di dalam masyarakat atau fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Fenomena itu berdimensi, mulai dari dimensi terang hingga dimensi tidak tampak, dimensi lunak hingga dimensi kuat (strong and strategic). Misalnya Candi Borobudur adalah dimensi yang kuat (strong and strategic), karena Candi Borobudur menyediakan informasi dan objek-objek etno yang cukup kaya. Kepedulian kita mempelajari etnomatematika dengan cara kita harus mengetahui kedudukan/statusnya. Etnomatematika menyediakan variasi sumber belajar, variasi kegiatan, variasi pengalaman, ataupun variasi konteks, berdasarkan variasi tersebut, etnomatematika berada di dunia konkret atau di dunia anak-anak. Disini peran guru sangatlah penting dalam proses pembelajaran, namun dalam dunia konkret ini masih sering ditemui problem-problem yang korbannya adalah siswa.

Problem pembelajaran matematika bukan disebabkan oleh siswa, namun disebabkan oleh orang dewasa selaku guru, orang tua, orang-orang yang mengambil kebijakan seperti kepala sekolah, dinas pendidikan, hingga menteri sekalipun. Karena mereka berpikiran bahwa matematika adalah ilmu yang disusun secara deduksi yang bersifat abstrak. Ini merupakan bencana bagi siswa. Kemudian tujuan pendiidkan yang mengacu kepada “ujian nasional oriented” ini juga menambah beban siswa. Ketidakpekaan orang dewasa inilah yang telah terjadi pada pembelajaran matematika sekarang. Pendidikan kita sekarang telah kehilangan intuisi karena para pendidik hanya member definisi-definisi yang masih bersifat abstrak bagi siswa. Maka matematika pada tingkat pertama didefinisikan sebagai pengalaman, sebagai kegiatan dan dari pengalaman ini akan muncul intuisi.

Etnomatematika adalah dunia inovasi pedidikan dan pembelajaran, maka hal ini tergantung pada sikap dan pemikiran para guru. Dari sisi kurikulum, ada tiga posisi guru, yaitu, pertama sebagai guru sebagai pelaksana, yang kedua guru sebagai partisipan, dan yang ketiga guru sebagai pengembang. Syarat agar seseorang guru yang berinovasi pembelajaran adalah guru yang bercita-cita menjadi pengembang kurikulum, bukan hanya sekedar pelaksana saja. Guru pengembang adalah guru researcher (peneliti). Guru peneliti ini sangat cocok dengan etnomatematika. Sebagai calon guru, mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi seorang peneliti. Maka dari itu mahasiswa harus memiliki banyak pengalaman dan bacaan agar terbentuklah mental dan jiwa seorang peneliti dan harapannya kelak menjadi pendidik yang selalu dapat memberikan inovasi pembelajaran yang memajukan pendidikan di Indonesia.


sumber : http://jujujuang.blogspot.co.id/2013/06/etnomatematika-ilmu-yang-erat-kaitannya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar